Rabu, 03 November 2010

Nyaris tak Berangkat Haji

Naik haji merupakan impian setiap Muslim, demikian pula dengan saya. Setelah melalui penantian panjang, akhirnya saya bisa menunaikan ibadah haji. Bahkan, keberangkatan saya ke Tanah Suci ketika itu atas undangan Raja Arab Saudi, melalui kantor di mana saya bekerja.

Setelah melalui proses seleksi, biasanya ada ratusan orang dari Indonesia diberangkatkan ke Tanah Suci dengan fasilitas yang sangat memadai karena statusnya sebagai jamaah haji tamu kerajaan. Nama saya termasuk salah satu yang diusulkan.

Mendapat informasi seperti itu, tentu saya sangat gembira. Apalagi dalam setiap kesempatan, sudah sejak lama saya berdoa agar bisa berangkat haji melalui program undangan raja ini. Doa itu sepertinya dikabulkan Allah. Sekitar dua pekan sebelum Hari Raya Idul Adha, saya dipanggil pihak Atase Agama Kedutaan Arab Saudi di Jakarta untuk membicarakan rencana keberangkatan saya ke Tanah Suci.

Namun, dalam pembicaraan dengan seorang staf atase yang menemui saya, dijelaskan, pada 2008, Indonesia tidak mendapat jatah calon haji yang berstatus undangan raja. Menurut staf tersebut, pada tahun itu, sebagian besar jatah haji undangan raja untuk negara-negara Asia, termasuk Indonesia, dialihkan ke negara-negara berpenduduk Muslim di Eropa Timur.

Mendengar penjelasan itu, saya jadi lemas, apa yang selama ini saya impikan sepertinya buyar. Namun, harapan itu kembali muncul ketika staf atase tersebut menyebutkan, pihak kedutaan tetap akan memberangkatkan jamaah haji asal Indonesia. Tapi, statusnya bukan sebagai undangan raja. Menurutnya, pihak kedutaan telah menghimpun dana dari beberapa dermawan di Arab Saudi agar tetap bisa memberangkatkan calon haji asal Indonesia.

Dia tidak menjelaskan, berapa dana yang diperoleh dari sumbangan para dermawan tersebut. Namun, menurutnya, dana itu hanya cukup untuk membiayai pembelian tiket pesawat pulang pergi Jakarta-Jeddah. Sedangkan biaya untuk makan, penginapan, dan lain-lain harus disediakan sendiri. Untuk itu, saya harus menyetorkan uang 1.500 dolar AS.

Mendapat penjelasan seperti itu, saya hanya bisa terdiam. Bukan karena kecewa harus membayar. Bisa berangkat haji dengan hanya mengeluarkan uang 2.000 dolar, menurut saya, sudah luar biasa murah. Haji reguler saja, harus membayar sekitar Rp 35 juta. Tapi yang menjadi persoalan saya, adalah karena saat itu saya benar-benar tidak punya uang.

Gaji dari kantor habis untuk kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak-anak saya, dan juga membayar utang. ””Saat ini, saya sungguh-sungguh tidak punya dana sebesar itu, Pak,”” kata saya pada staf tersebut.Namun, staf kedutaan tadi tetap memberikan kesempatan kepada saya. Bahkan, dia menurunkan jumlah uang yang harus dibayarkan menjadi 1.500 dolar AS. ””Ya sudah, 1.500 dolar saja deh, Mas,”” katanya.

Mendapat kemudahan seperti ini, saya kembali terdiam hingga beberapa saat kemudian saya menjawab, ””Pak, saya tidak sanggup,”” kata saya lagi. Saya berpikir, mungkin saya bisa mengusahakan uang sebesar itu dengan cara berutang. Tanpa berpikir panjang, saat itu juga saya putuskan mundur saja dan urung berangkat.

””Demi Allah, saya tidak berangkat ke Tanah Suci tahun ini, tidak apa-apa. Masalah haji, bagi saya adalah masalah panggilan Allah. Mudah-mudahan, kelak ada jalan agar saya bisa berangkat melalui cara lain,”” Kata saya pada staf atase tersebut.

Tapi, rupanya pada saat itu, Atase Agama Kedutaan Besar Arab Saudi memerhatikan saya. Atase tersebut, langsung memanggil stafnya yang tadi mewawancarai saya. Beberapa saat kemudian, staf itu kembali menemui saya dan menyatakan ongkos yang harus saya bayar diturunkan lagi menjadi tinggal 750 dolar AS.

Masya Allah, saya betul-betul terharu mendapat perhatian seperti itu. Tapi sungguh, saat itu saya benar-benar tidak punya uang. ””Sudahlah, Pak. Tidak apa-apa saya tidak berangkat. Kalau bapak terus menurunkan ongkos yang harus saya bayar, nanti kasihan dengan jamaah lain yang akan diberangkatkan kedutaan. Berarti mereka yang harus membayar seluruh biaya perjalanan haji saya,”” jawab saya.

Mendapat jawaban saya, staf tersebut kembali menghadap atase agama. Beberapa saat kemudian, dia kembali menemui saya dan mengatakan, ””Mas, biaya sebesar itu sudah rendah sekali. Jamaah yang lain, tetap harus membayar 2.000 dolar. Begini saja, Mas saya beri kesempatan untuk berpikir dua jam. Mungkin Mas bisa mengusahakan uang itu. Coba Mas telepon ke kantor, mungkin bersedia menutupi biaya itu,”” sarannya.

Saya pun kemudian keluar dari kantor kedutaan. Di bawah pohon di luar gedung atase, saya menelpon pemimpin saya dan menjelaskan, supaya bisa berangkat haji saya harus membayar uang 750 dolar AS. ””Wah, gimana ya, Wid. Sekarang kantor juga sedang tidak ada uang,”” kata pimpinan saya.

””Ya sudah Mas. Ngga apa-apa. Mungkin belum rezeki saya bisa berangkat haji tahun ini,”” jawab saya.Kemudian saya menelpon istri saya, dan mendiskusikan ihwal kebutuhan tersebut. Hasil diskusi panjang kami memutuskan, kalau harus bayar sebesar itu, lebih baik saya tidak berangkat.

Tanpa menunggu lama, saya bergegas kembali menemui atase lagi untuk menyampaikan keputusan bahwa saya tidak jadi berangkat. Tapi alhamdulillah, saat itu pemimpin redaksi saya menelpon, ””Wid, sekarang kamu masuk kantor atase. Bilang, biayanya dibayar kantor,”” katanya.

Alhamdulillah, saya tak kuasa menahan air mata mendapat telepon dari bos saya ini. Cukup lama, saya menangis di bawah pohon, sebelum saya akhirnya masuk kantor dan menjelaskan saya siap membayar ongkos berangkat haji tersebut. Saya juga telepon ke istri, ””Bu, akhirnya saya bisa berangkat. Kantor sudah bisa membayarkan kekurangannya,”” kata saya. ””Ya syukur Alhamdulillah. Allah ternyata memberi jalan, Pak,”” jawab istri saya.

Tentang Haji * Paket Haji Khusus * Hikmah Haji * Rukun Haji * Manasik Haji * Biaya Haji * Tata Cara Haji * Haji 2011 * Travel Haji Tentang Umrah * Paket umrah * Travel Umrah * Ibadah Umrah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar